|
SITE NETWORK
Lombok Travel Information
Komodo Travel Information
Rinjani Trekking Information
Paket Wisata
ke Lombok
Lombok Rental Car
|
|
WISATA BUDAYA DI LOMBOK
Selamat datang di
Biro Perjalanan
Lombok Wisata, Kami menawarkan informasi lengkap tentang
tujuan wisata budaya di Lombok sebagai berikut :
1. Desa Adat Sasak Sade Rambitan
Dusun Sade,
salah satu dusun tradisional yang masih asli. Dusun Sade
tepatnya berada di Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok
Tengah. Rumah-rumah penduduk dibangun dari konstruksi bambu
dengan atap dari daun alang-alang. Penghuninya berpencaharian
sebagai petani. Jumlah mereka relatif tidak bertambah karena
keluarga yang baru menikah kalau tidak mewarisi rumah orang
tuanya akan membangun rumah di tempat lain. Disamping arsitektur
rumah, sistem sosial dan kehidupan keseharian mereka masih
sangat kental dengan tradisi masyarakat Sasak tempo dulu.
Rumah Tradisional Dusun Sade dapat mewakili untuk disebut
sebagai Desa Wisata di NTB ,layaknya Desa Wisata di daerah lain.
Sebab, masyarakat yang tinggal di dusun tersebut semuanya adalah
Suku Sasak. Mereka hingga kini masih memegang teguh adat
tradisi. Bahkan, rumah adat khas Sasak juga masih terlihat
berdiri kokoh dan terawat di kawasan ini.
Suku Sasak adalah penduduk asli dan mayoritas di Pulau Lombok,
NTB. Konon, kebudayaan masyarakat terekam dalam kitab Nagara
Kartha Gama karangan Empu Nala dari Majapahit. Dalam kitab itu,
Suku Sasak disebut “Lomboq Mirah Sak-Sak Adhi”.
Sedangkan kebudayaan Suku Sasak itu diantaranya terekam dalam
rumah adat Suku Sasak. Alasannya, rumah memiliki posisi penting
dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai tempat secara
individu dan keluarga secara jasmani, tetapi juga dalam
pemenuhan kebutuhan jiwa atau spiritual.
Rumah adat Suku Sasak, jika diperhatikan dibangun berdasarkan
nilai estetika dan kearifan lokal. Orang sasak mengenal beberapa
jenis bangunan adat yang menjadi tempat tinggal dan juga tempat
ritual adat dan ritual keagamaan. Rumah adat suku Sasak terbuat
dari jerami dan berdinding anyaman bambu (bedek). Lantai dari
tanah liat yang dicampur kotoran kerbau dan abu jerami. Campuran
tanah liat dan kotoran kerbau membuat lantai tanah mengeras,
sekeras semen. Cara membuat lantai seperti itu sudah diwarisi
sejak nenek moyang mereka.
Bahan bangunan seperti kayu dan bambu didapatkan dari lingkungan
sekitar. Untuk menyambung bagian-bagian kayu, mereka menggunakan
paku dari bambu. Rumah suku Sasak hanya memiliki satu pintu
berukuran sempit dan rendah, tidak memiliki jendela.
Dalam masyarakat Sasak, rumah memiliki dimensi kesakralan dan
keduniawian. Rumah adat Sasak selain sebagai tempat berlindung
dan berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat ritual
sakral sebagai manifestasi keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek
moyang, penunggu rumah dan sebagainya.
Perubahan pengetahuan, bertambahnya jumlah penghuni dan
berubahnya faktor eksternal seperti faktor keamanan, geografis
dan topografis, menyebabkan perubahan terhadap fungsi dan bentuk
fisik rumah adat. Hanya, konsep pembangunannya seperti
arsitektur, tata ruang dan polanya tetap menampilkan
karakteristik tradisional.
Karena itu, untuk menjaga kelestarian rumah adat, orang tua Suku
Sasak biasanya berpesan kepada anak-anaknya jika ingin membangun
rumah. Jika tetap mau tinggal didaerah setempat, maka harus
membuat rumah seperti model dan bahan bangunan yang sudah ada.
Tapi, jika ingin membangun rumah permanen seperti di
kampung-kampung lain pada umumnya, mereka dipersilahkan keluar
dari kampung tersebut.
PEMBANGUNAN RUMAH ADAT SADE
Bahan pembuat rumah adat suku Sasak diantaranya kayu penyanggga,
bambu, bedek untuk dinding, jerami dan alang-alang untuk atap,
kotoran kerbau atau kuda sebagai bahan campuran pengeras lantai,
getah pohon kayu banten dan bajur, abu jerami sebagai bahan
pengeras lantai.
Waktu pembangunan, biasanya berpedoman pada papan warige dari
primbon tapel adam dan tajul muluk. Tidak semua orang mampu
menentukan hari baik. Biasanya mereka bertanya kepada pimpinan
adat.
Orang Sasak meyakini waktu yang baik memulai membangun rumah
adalah bulan ketiga dan keduabelas penanggalan Sasak yakni
Rabiul Awal dan Dzulhijjah. Pantangan yang dihindari untuk
membangun rumah adalah pada Muharram dan Ramadhan. Menurut
kepercayaan, rumah yang dibangung pada bulan itu cenderung
mengundang malapetaka, seperti penyakit, kebakaran, sulit rezeki
dan lain-lain.
Orang Sasak selektif dalam menentukan tempat pembangunan rumah.
karena mereka meyakini tempat yang tidak tepat akan berakibat
kurang baik, seperti i bekas perapian, bekas pembuangan sampah,
bekas sumur, posisi tusuk sate (susur gubug).
Orang Sasak tidak akan membangun rumah berlawanan arah dan
ukurannya berbeda dengan rumah yang lebih dulu ada. Menurut
mereka, melanggar konsep tersebut merupakan perbuatan melawan
tabu (maliq lenget).
Rumah adat Sasak pada atapnya berbentuk gunungan, menukik ke
bawah dengan jarak sekitar 1,5-2 meter dari permukaan tanah
(pondasi). Atap dan bubungannya (bungus) terbuat dari
alang-alang, dinding dari bedek, hanya mempunyai satu ukuran
kecil dan tidak ada jendela.
Ruangannya (rong) dibagi menjadi inak bale (ruang induk)
meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalam berupa tempat
menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus
disemayamkannya jenazah sebelum dimakamkan.
Ruangan bale dalem dilengkapi amben, dapur dan sempare (tempat
menyimpan makanan dan peralatan rumah tangga lainnya) terbuat
dari bambu ukuran 2X2 meter persegi atau empat persegi panjang.
Sempare diletakkan diatas, posisi menggantung di langit-langit
atap.
Ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem sorong
(geser). Diantara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga
(tiga anak tangga) dan lantainya berupa campuran tanah dengan
kotoran kerbau/kuda, getah dan abu jerami.
Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan kebutuhan
keluarga maupun kelompoknya. Pembangunan tidak semata-mata untuk
memenuhi kebutuhan keluarga tapi juga kebutuhan kelompok.
Bangunan rumah dalam komplek perumahan Sasak terdiri dari
berbagai macam diantaranya Bale Tani, Bale Jajar,
Barugag/Sekepat, Sekenam, Bale Bonder, Bale Beleq Bencingah dan
Bale Tajuk. Nama bangunan disesuaikan dengan fungsi
masing-masing.
Bale Tani adalah bangunan rumah untuk tempat tinggal
masyarakat Sasak yang berprofesi sebagai petani.
Bale Jajar merupakan bangunan rumah tinggal orang Sasak
golongan ekonomi menengah keatas. Bentuk bale jajar hampir sama
dengan bale tani, yang membedakan adalah jumlah dalem balenya.
Berugaq/sekepat berbentuk segi empat sama sisi (bujur
sangkar) tanpa dinding, penyangganya dari kayu, bambu dan
alang-alang sebagai atapnya. Berugaq biasanya terdapat di depan
samping kiri atau kanan bale jajar atau bale tani.
Berugaq berfungsi tempat menerima tamu, karena menurut kebiasaan
orang Sasak, tidak semua orang boleh masuk rumah. Berugaq juga
digunakan pemilik rumah yang memiliki gadis untuk menerima
pemuda yang datang midang (melamar/pacaran).
Sedangkan sekenam bentuknya sama dengan berugaq, hanya
sekenam mempunyai tiang sebanyak enam buah dan berada di bagian
belakang rumah. Sekenam biasanya digunakan sebagai tempat
kegiatan belajar mengajar tata krama, penanaman nilai-nilai
budaya dan sebagai tempat pertemuan internal keluarga.
Bale Bonder adalah bangunan tradisional Sasak yang
umumnya dimiliki para pejabar desa, dusun/kampung. Bale bonder
biasanya dibangun di tengah pemukiman atau di pusat pemerintahan
desa/kampung. Bale bonder digunakan sebagai tempat
pesangkepan/persidangan atas, seperti tempat penyelesaian
masalah pelanggaran hukum adat dan sebagainya.
Bale Beleq adalah satu sarana penting bagi sebuah
kerajaan. Bale itu diperuntukkan sebagai tempat kegiatan besar
kerajaan sehingga sering disebut juga “bencingah”.
Upacara kerajaan yang dilakukan di bale beleq adalah Pelantikan
pejabat kerajaan, penobatan putra mahkota kerajaan,
pengukuhan/penobatan para Kiai Penghulu (pendita) kerajaan,
tempat penyimpanan benda-benda pusaka kerajaan seperti
persenjataan dan benda pusaka lainnya seperti pustaka/dokumen
kerajaan dan sebagainya.
Bale Tajuk merupakan salah satu sarana pendukung bagi
bangunan rumah tinggal yang memiliki keluarga besar. Bale Tajuk
berbentuk segilima dengan tiang berjumlah lima buah dan biasanya
berada di tengah lingkungan keluarga santana.
Bale Gunung Rate biasanya dibangun oleh masyarakat yang
tinggal di lereng pegunungan, bale balaq dibangun dengan tujuan
menghindari bencana banjir. Oleh karena itu, biasanya berbentuk
rumah panggung.
Selain bangunan itu, ada bangunan pendukung yakni Sambi,
Alang dan Lumbung. Sambi, tempat menyimpan hasil pertanian.
Alang sama dengan lumbung berfungsi untuk menyimpan hasil
pertanian, hanya alang bentuknya khas, beratapkan alang-alang
dengan lengkungan 3/4 lingkaran namun lonjong dan ujungnya tajam
ke atas. Lumbung, tempat untuk menyimpan berbagai kebutuhan.
Lumbung tidak sama dengan sambi dan alang sebab lumbung biasanya
diletakkan di dalam rumah/kamar atau di tempat khusus diluar
bangunan rumah.
NILAI NILAI BUDAYA DI RUMAH ADAT SADE
Jika diperhatikan, pembangunan rumah adat Suku Sasak sebenarnya
mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Kearifan itu berkembang
dan berlanjut secara turun-temurun. Atap rumah tradisional Sasak
didesain sangat rendah dengan pintu berukuran kecil, bertujuan
agar tamu yang datang harus merunduk. Sikap merunduk merupakan
sikap saling hormat menghormati dan saling menghargai antara
tamu dengan tuan rumah.
Arah dan ukuran yang sama rumah adar Suku Sasak menunjukkan
bahwa masyarakat hidup harmonis. Sedangkan undak-undakan
(tangga) tingkat tiga mempunyai pesan bahwa tingkat ketakwaan
ilmu pengetahuan dan kekayaan tiap manusia tidak akan sama.
Diharapkan semua manusia menyadari kekurangan dan kelebihan yang
dimiliki, kareba semuanya merupakan rahmat Tuhan.
Jadi, rumah merupakan ekspresi pemikiran paling nyata seorang
individu atau kelompok dalam mengejwantahkan hubungan dengan
sesama manusia (komunitas atau masyarakat), alam dan dengan
Tuhan (keyakinan), seperti halnya konsep yang ada pada
pembangunan rumah adat masyarakat Sasak.
2. Taman Narmada.
Taman
Narmada terletak di Desa Lembuak, Kecamatan Narmada,
Kabupaten Lombok Barat atau sekitar 10 kilometer sebelah timur
Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Taman
yang luasnya sekitar 2 ha(hektar are) ini dibangun pada tahun
1727 oleh Raja Mataram Lombok, Anak Agung Ngurah Karang Asem,
sebagai tempat upacara Pakelem yang diselenggarakan setiap
purnama kelima tahun Caka(Oktober-November). Selain tempat
upacara, Taman Narmada juga digunakan sebagai tempat
peristirahatan keluarga raja pada saat musim kemarau.
Nama Narmada diambil dari Narmadanadi, anak Sungai Gangga yang
sangat suci di India. Bagi umat Hindu, air merupakan suatu unsur
suci yang memberi kehidupan kepada semua makhluk di dunia ini.
Air yang memancar dari dalam tanah(mata air) diasosiasikan
dengan tirta amerta(air keabadian) yang memancar dari Kensi
Sweta Kamandalu. Dahulu kemungkinan nama Narmada digunakan untuk
menamai nama mata air yang membentuk beberapa kolam dan sebuah
sungai di tempat tersebut. Lama-kelamaan digunakan untuk
menyebut pura dan keseluruhan kompleks Taman Narmada.
Taman Narmada yang sekarang ini adalah hasil pembangunan dan
serangkaian perbaikan/pemugaran yang berlangsung dari waktu ke
waktu. Sewaktu para petugas dari Direktorat Perlindungan dan
Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala bersama dengan para
petugas Kantor Wilayah Depdikbud Nusa Tenggara Barat meneliti
dan mengumpulkan data sebagai langkah awal pemugaran, mereka
berpendapat bahwa pemugaran secara menyeluruh tidak mungkin
dilakukan. Banyak bagian yang telah rusak terutama tebing-tebing
kolam, taman, pagar maupun bangunan. Pada tahun 1980 sampai 1988
rekonstruksi Taman Narmada dapat diselesaikan.
Setelah direkonstruksi oleh pemerintah melalui Ditjen
Kebudayaan, Direktorat Perlindungan dan pembinaan Peninggalan
Sejarah dan Purbakala, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Taman Narmada dijadikan sebagai kompleks bangunan cagar budaya
dengan daftar induk inventarisasi peninggalan sejarah dan
purbapakala pusat nomor 1839. Dengan demikian, sesuai dengan
peraturan yang berlaku kelestarian Taman Narmada dilindungi oleh
pemerintah.
Kompleks Taman Narmada yang ada di Lombok itu dapat dibagi
menjadi beberapa bagian, yaitu gerbang utama, jabalkap, telaga
kembar, gapura gelang/paduraksa, mukedes, telaga padmawangi,
balai loji, balai terang, patandaan, bangunan sekepat, balai
bancingah, Pura Kelasa dan Pura Lingsar. Berikut ini akan
diuraikan bagian-bagian dari Taman Narmada dari gerbang utama.
Gerbang utama yang berbentuk gapura bentar dan berada di sebelah
utara. Setelah gerbang utama kita akan memasuki halaman
jabalkap, yang di dalamnya terdapat telaga kembar. Di bagian
selatan jabalkap terdapat sebuah gapura yang bernama Gapura
Gelang atau Paduraksa yang menghubungkan antara halaman jabalkap
dengan halaman mukedes. Pada halaman mukedes terdapat beberapa
buah bangunan, antara lain Sanggah Pura, Balai Pamerajan dan
Balai Loji(salah satu di antara bangunan kediaman raja). Di
sebelah tenggara halaman mukedes terdapat gapura yang menuju ke
halaman pasarean. Di halaman paseran ini terdapat juga Balai
Loji, Telaga Padmawangi, Pawedayan, pawargan, Balai Terang.
Balai Terang adalah sebuah bangunan yang berfungsi sebagai
tempat istirahat/tidur raja, berbentuk panggung yang seluruhnya
terbuat dari kayu. Bagian atas bangunan yang terbuka
dipergunakan untuk menikmati pemandangan ke arah Meru pura di
sebelah timurnya. Pintu dan jendela Balai Terang ini bermotif
bulan tunggal dan tumbuh-tumbuhan.
Di sebelah timur halaman pasarean terdapat Pura Kelasa atau Pura
Narmada. Bentuk arsitekturnya menyerupai punden berundak. Bagian
yang paling suci terdapat di halaman tengah pada undak yang
paling atas (pura di Bali umumnya halaman paling suci adalah
yang paling belakang). Pura ini tergolong pura jagat atau pura
umum bagi semua penganut Hindu Dharma dan merupakan salah satu
di antara delapan pura tua di Pulau Lombok. Pura Narmada
terletak di atas tebing berundak-undak, sedang di bawah lembah
tebing terdapat kolam duyung dan telaga segara anak.
Sebelah selatan halaman pasarean terdapat halaman patandaan.
Pada halaman patandaan ini terdapat dua bangunan sakapat yaitu
sejenis wantilan atau panggung terbuka bertiang empat. Pada
halaman inilah sering diselenggarakan berbagai pertunjukan.
Sedangkan di sebelah selatan Patandaan terdapat halaman
bancingah. Yang tertinggal di halaman ini sekarang hanyalah
tembok keliling halaman dengan dua gapura bentar.
Unsur-unsur bangunan yang lain sebenarnya masih banyak, antara
lain pancuran sembilan (siwak) yang letaknya di atas Segara
Anak. Bentuk bangunannya dorogancet dengan dua bagian terpisah
menyerupai bangunan tradisional di Jawa Tengah. Bangunan ini
termasuk bangunan sakral baik bagi penganut Hindu Dharma maupun
penganut Waktu Tilu.
Selain itu, ada pula Balai Petirtaan yang sumber mata airnya
berasal dari Gunung Rinjani. Balai Petirtaan juga merupakan
tempat pertemuan tiga sumber air, yakni Suranadi, Lingsar, dan
Narmada. Karena mata airnya berasal dari Gunung Rinjai dan
tempat pertemuan tiga sumber mata air lainnya, maka air yang ada
di Balai Petirtaan dipercaya dapat menjadikan orang yang meminum
dan membasuh mukanya dengan air di situ akan awet muda.
Bangunan-bangunan lain di kompleks Taman Narmada dalam wujud
pertamanan sudah sulit ditelusuri keasliannya. Menurut peta
tahun 1899 taman di kompleks Taman Narmada di antaranya adalah:
Taman Bidadari, Taman Anyar, Taman Paresak, dan Taman Kelasa.
Taman Anyar dan Taman Kelasa saat ini telah menjadi perkampungan
penduduk. Sedangkan Taman Paresak saat ini telah menjadi kebun
buah-buahan dengan tanaman utamanya ialah buah manggis.
3. Pura Suranadi
Sejarah pura
majapahit di suranadi erat kaitannya dengan sejarah pura
suranadi. Awalnya, danghyang nirartha atau pandita sakti wawu
rawuh yang sedang melakukan perjalanan dari Bali ke pulau Lombok
tepatnya menuju gunung rinjani. di perjalanan ke gunung rinjani,
beliau melewati Suranadi. Di sana ia bertemu dengan seseorang
yang berasal dari kr. Medain yang sedang mencari tirtha untuk
melaksanakan upacara ngaben untuk kakeknya. Beliau lalu
menyuruhnya untuk mencari 5 batang bambu. Ia menancapkan salah
satu bambu lalu mencabut bambu tersebut yang kemudian muncuah
mata air yang di sebut tirtha pebersihan, dari pembersihan
beliau berjalan menuju lokasi pura ulon lalu menancapkan
bambunya kembali di namakan petirtaan, setelah itu beliau
berjalan sekitar 5 meter dan menancapkan bambu lainnya lalu
keluar air yang di namakan tirtha pelukatan. Setelah itu beliau
kembali lagi sejauh 50 meter menuju lokasi tirtha pangentas lalu
di tancapkannya sisa kedua bambu tersebut di sana sehingga di
namakan tirtha pangentas dan pemanahan.
Sejarah majapahit erat kaitannya dengan kisah lubdaka. Lubdaka
merupakan seorang pemburu yang tinggal di tengah hutan. Ia
sehari-harinya memburu binatang di hutan. Suatu hari pada hari
raya siwalatri ia berburu ke hutan namun tidak mendapatkan
apa-apa. Menjelang senja ia di kejar oleh seekor singa sehingga
ia menaiki pohon maja. Di atas pohon sambil menunggu singa yang
telah menjaganya di bawah pergi, ia memetik daun maja sebanyak
108 helai untuk menjaganya agar tidak tertidur. Di pagi hari,
lubdaka pulang ke rumah tanpa membawa hasil buruan. Setelah
beberapa hari, ia jatuh sakit lalu meninggal, karena ia telah
tidak tidur saat malam Siwa atau Siwalatri ia mendapatkan
anugrah dari dewa Siwa sehingga dapat diampuni dosanya. Jadi
menurut beliau, pada saat malam siwalatri, sebaiknya kita
bermeditasi di pura majapahit tersebut.
Pura majapahit sendiri didirikan pada tahun 1915, pura ini di
dirikan bersamaan dengan linggih batara bagus gunung rinjani.
pura ini di dirikan untuk mengenang para leluhur yang berasal
dari majapahit. majapahit merupakan pura yang berposisi di
tengan Hutan Taman Wisata, yaitu tempatnya d sebelah timur badan
jalan raya masuk ke tengah hutan dan berlokasi 50 meter di
sebelah utara Pura Ulon. Pura majapahit merupakan pura yang
ukurannya paling kecil di antara empat sebaran Pura Suranadi
ini. Letak pura menghadap kearah selatan dan posisinya di
kelilingi oleh Hutan Taman Wisata. Pura ini terdiri atas
palinggih Bhatara Sakti Waurauh /palinggih bhatara majapahit,
palinggih ngerurah dan bale banten. Nama pelinggih eratkaitannya
dengan penghormatan atas jasa Dang Hyang Dwijendra yang telah
melaksanakan dharmayatra di suranadi ini.
Sumber mata air yang sangat kecil terdapat di luar pura (jaba
sisi). Palinggih batara sakti waurauh berbentuk gedong, dengan
dasar berupa bataran persegi panjang satu meter kali satu
setengah meter dengan tinggi 80 cm. badan berupa kayu bertiang
enam setinggi 120 cm dengan altar berbentuk gedong terbuka yang
di cat berwarna hitam. Atapnya sangat sederhana berbahan seng,
walaupun demikian tetap dapet di benarkan asalkan model dan
bentuknya sesuai dengan yang di yakini masyarakat setempat. Pura
majapahhit terletak di tengah Hutan Taman Wisata jadi halamanya
terbatas, walaupun demikian kawasan di sekitar pura merupakan
wilayah yang di gunakan untuk aktivitas upacara. Kawasan jaba
sisi pura ini, merupakan wilayah yang statusnya masih menjadi
sengketa, karena sampai saat ini belum dapat di berikan untuk
membuat dinding pemisah dengan, melainkan hanya di berikan untuk
menggunakan untuk upacara saja.
Jadi pura majapahit terletak di Desa Suranadi yang terletak di
hutan Suranadi. Yang dimana pura majapahit sangat eratkaitannya
kisah lubdaka dan dengan datangnya Bhatara Sakti Waurauh yang
melaksanakan tirtayatra.
Pura
Suranadi sangat erat kaitannya dengan perjalanan DHANG HYANG
DWIJENDRA yang dikenal juga dengan nama PEDANDE SAKTI WAWURAWUH.
Pura Suranadi memiliki makna yang sangat dalam. Suranadi terdiri
dari dua suku kata yaitu Sura yang berarti Dewa dan Nadi yang
berarti Sungai. Jadi Suranadi bisa diartikan sebagai sungai
pemberian Dewa. Konon sebelum beliau meninggalkan Lombok, beliau
melakukan Puja Mantra untuk memunculkan Panca Tirtha agar umat
Hindu di pulau Lombok dapat melaksanakan yadnya dengan benar dan
tertib.
Kelima Panca Tirtha tersebut adalah:
1. Tirtha Tabah : Tirtha untuk muput upacara Pitra Yadnya, di
Bali dikenal dengan Toya Penembak.
2. Tirtha Pembersihan : Tirtha untuk Sawa (jenasah) sebelum
diberikan Tirtha Pengentas.
3. Tirtha Pengentas : Diberikan pada Sawa (jenasah) sebelum
dimakamkan atau diaben.
4. Tirtha Penglukatan : Digunakan untuk pembersihan diri dan
digunakan juga pada upacara Dewa Yadnya, Manusia Yadnya dan
Bhuta Yadnya.
5. Patirthaan : Digunakan pada puncak acara sebagai Prasadam.
Selain
fungsi-fungsi tersebut diatas, saat ini Tirtha Pembersihan dan
Pengentas sering juga berfungsi untuk pengobatan dan membuka
jalan spiritual. Pada hari-hari tertentu banyak warga yang
melakukan mandi sakral pada aliran Tirtha Pembersihan dan pada
aliran Tirtha Pengentas.
Pura
Suranadi memiliki tiga komplek pura yaitu:
1. Pura Ulon/Gaduh, yang terletak di ujung timur laut berbatasan
langsung dengan hutan lindung.
2. Pura Pengentas,terletak beberapa meter ke arah barat daya
dari pura Ulon dan terdapat dua Pelinggih yang sangat sederhana,
sangat sederhana dibandingkan dua pura yang lain.
3. Pura Pembersihan, terletak kira-kira tigaratus meter dari
pura Gaduh atau Ulon. Di pura ini hanya ada satu mata air, dan
di pura Ulon terdapat dua mata air.
4. Pura Lingsar
Pura Lingsar,
Ini mungkin satu-satunya tempat suci Hindu di dunia dimana baik
Hindu dan Muslim datang untuk melakukan ritual.
Kerukunan antar umat beragama nampak di Lombok, umat Islam dan
Hindu hidup berdampingan. Bahkan di Pura Lingsar, Umat Hindu dan
Islam mengelola dan beribadah disana bersama-sama.
Dibangun pada tahun 1714 dan dibangun kembali pada tahun 1878
untuk melambangkan keselarasan dan kesatuan antara Hindu Bali
dan Muslim Sasak penduduk daerah, terutama mereka yang mematuhi
unik Lombok Wektu Telu sekolah Islam. Candi ini dibangun pada
daerah dataran tinggi, di belakang bagian kompleks. Pada
musim peziarah dilakukan pertempuran tiruan antara Hindu dan
Islam, kedua belah pihak melemparkan kue beras satu sama lain
Lokasinya Sekitar 7 kilometer sebelah barat Narmada. sekitar 15
km dari pusat Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat itu dibangun
pada masa jayanya kerajaan Karangasem Sasak sekitar tahun 1759.
Pura ini dibangun oleh Anak Agung Ngurah yang memerintah Lombok
bagian barat saat itu. Di kawasan pura itu terdapat empat
bangunan pokok, yaitu Pura Gaduh, Kemaliq, Pesiraman dan
pesimpangan Bhatara Bagus Balian, serta Lingsar Wulon.
Ketiga bangunan Gaduh, Kemaliq dan Bhatara Bagus Balian hanya
dibatasi dengan tembok besar. Saat pujawali berlangsung, upacara
dilaksanakan secara serentak. Pujawali adalah upacara pemujaan
kelahiran Ida Bhatara yang dilakukan umat Hindu di pura itu.
Selain digunakan umat Hindu untuk beribadah, Suku Sasak yang
menganut Islam juga menggunakan Kemaliq yang berada di dalam
area pura sebagai tempat ibadah juga. Bahkan secara rutin
diadakan doa bersama dari berbagai pemeluk agama yang ada di
Lombok.
Untuk menjaga kedamaian, dalam di sekitar tempat itu dilarang
memakan atau menyembelih binatang-binatang yang dianggap suci
oleh masing-masing agama. Bahkan dalam radius 2 km dari Pura
Lingsar, sapi yang dianggap suci oleh umat hindu dilarang
berkeliaran.
Ketika masuk ke dalam kawasan, pengunjung disarankan untuk
memakai selendang yang diikatkan pada pinggang. Selandang ini
dipakai untuk menghormati tempat ini yang dianggap suci oleh
uimat Hindu dan Islam, Setelah mengenakan selendang kain
berwarna kuning, barulah bisa memasuki tempat berdoa. Di samping
tempat berdoa itu ada sebuah kolam kecil. Airnya jernih dan
tidak pernah kering. Bahkan kedalaman kolam itu selalu tetap
setiap saat. Di kolam itu terdapat ikan tuna besar yang
panjangnya mencapai satu meter.
Pengunjung kolam itu akan berusaha memacing agar ikan tuna itu
muncul. artinya Anda sangat beruntung, Di kolam itu juga, ada
ritual melempar uang logam ke kolam sambil membalikan badan dan
berdoa.
Konon, tempat itu dibangun sebagai lambang persatuan. Karena
itulah, tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dalam
komplek pura yang luas itu. Umat Hindu dan Suku sasak yang
beragama Islam secara rukun merawat pura itu secara
bersama-sama. Siapa saja yang mempercayai dan ingin
”berhubungan” dengan Tuhan di tempat itu, tak pernah
dipermasalahkan, sepanjang mentaati aturan di pura tersebut.
Karena itulah, Pura Lingsar perwujudan sikap toleran dari
penduduk yang beragam suku, agama dan ras, dan sekaligus menjadi
simbol pemersatu umat di Pulau Lombok. Simbol toleransi, juga
dilambangkan dengan aturan tak tertulis, bahwa siapa saja yang
datang ke tempat suci itu, tak diperkenankan menghaturkan sesaji
dari babi dan sapi. Babi haram bagi umat Isalam, dan sapi
dianggap suci oleh umat Hindu. Salah satu upacara di Pura
Lingsar yang dilakukan bersama oleh umat Hindu dan Suku Sasak
yang beraga Islam adalah Pujawali. Setiap purnamaning sasih
kanem–menurut hitungan panangggalan Bali atau sekitar bulan
Desember, upacara pujawali diselenggarakan. ….selengkapnya baca
Upacara Pujawali di Pura Lingsar.
5. Pura Gunung Pengsong
Selain atmosfer dan
karakteristiknya yang kuat, tempat ibadah pemeluk Hindu (Pura)
juga memiliki nuansa yang mistik nan alami. Demikian yang akan
Anda rasakan saat Anda mengunjungi Pura Gunung Pengsong atau
Pura Pangsung. Pura yang terletak di Gunung Pengsong ini sangat
tenang sehingga menghantarkan Anda pada sekilas perjalanan
spiritual.
Pura Pangsung Nama yang sebenarnya dari pura ini adalah
Pura Pangsung. Nama “Pangsung” diambil dari bahasa Sansekerta
yang berarti “tempat untuk meminta berkat (dari Sang Hyang
Widhi)”. Masyarakat setempat menganggap Pura Pangsung adalah
tempat yang sangat dekat dengan Sang Pencipta. Sehingga sangat
tepat untuk menjalankan ibadah di pura ini, baik pada hari raya
ataupun setiap harinya.
Oleh Suku Sasak, pura ini sering disebut sebagai Pura Gunung
Pengsong. Dinamakan demikian sebab sebelum pura didirikan,
ditemukan harta karun berupa koin emas di bukit ini. Harta karun
tersebut ternyata harta peninggalan jepang yang dikubur. Dalam
bahasa setempat, “kepeng” atau disingkat “peng” berarti koin,
dan “song” berarti berlubang. Sehingga “Pengsong” berarti koin
dengan lubang ditengahnya.
Pura Pangsung didirikan pada tahun 1514. Siapa yang mendirikan
dan latarbelakang pendirian pura ini tidak begitu jelas. Sejarah
berdirinya Pura Pangsung ini tertulis dalam sebuah buku yang
dibuat dari daun palem. Namun keberadaan dan isi buku ini sangat
sakral. Sehingga untuk membuka dan membaca isinya harus
dilakukan pada hari tertentu, dengan upacara khusus pula. Namun
menurut penjaga pura, Pura Pangsung didirikan olah seorang
pendeta dari Geria Pendem, Karangasem, Bali, yang bernama Ida
Bethara Wayan Sebali. Dan menurut si penjaga tersebut, Pura
Pangsung adalah pura tertua yang ada di Lombok Indonesia.
Pura Pangsung bisa Anda capai dari Kota Mataram dengan
menggunakan ojek atau kendaraan pribadi, dengan lama perjalanan
sekitar 40 Menit. Anda bisa menempuh jalur rute
Mataram-Gomong-Ring Road Selatan-Desa Perampuan-Pengsong atau
rute Mataram-Cakranegara-Dasan Cermen-Bagek
Polak-Perampuan-Pengsong.
Kera-kera di Pura PengsongAnda akan menemui suasana yang asri
nan sejuk ketika sampai di kawasan Pura Pengsong. Banyak sekali
pohon yang rimbun di sana. Beberapa diantaranya adalah Pohon
Beringin yang sudah berumur ratusan tahun, dengan akar-akarnya
yang tebal dan menjulur ke tanah. Suasana semakin terasa alami
dengan suara khas dari Tengerek, serta kera-kera yang
berlompatan di pepohonan sekitar pura. Sebelum masuk ke daerah
utama pura, Anda bisa beristirahat sejenak di pelataran pura
sembari memberi makan kera-kera nan lucu tersebut.
6. Pura Meru Cakranegara
Pura Meru
merupakan pura terbesar yang ada di Pulau Lombok. Pura ini
memiliki arsitektur pura yang cukup unik, yaitu Meru dengan atap
bertingkat. Menurut sejarah, Pura Meru dibangun pada abad ke-18
oleh 33 desa di Pulau Lombok.
Meskipun dewasa ini Pulau Lombok dihuni oleh penduduk yang
mayoritas beragama Islam, namun Anda masih bisa menemukan
beberapa peninggalan Hindu Jawa kuno yang terletak di jalan
utama Kota Cakranegara. Salah satunya adalah Pura Meru Lombok
ini, yang lokasinya tak jauh dari Pura Taman Mayura. Pura ini
memiliki ciri yang cukup menonjol, sehingga dengan mudah Anda
akan mengenali Pura Lombok ini. Dari jalan utama Anda akan
melihat tiga meru yang bertingkat, yang menjulang dengan atap
hitam berbahan ijuk.
Pura Meru adalah tempat suci bagi umat Hindu yang paling
terkenal dan terbesar di Pulau Lombok. Pura ini didirikan oleh
Anak Agung Made Karangasem, sekitar tahun 1720. Tempat ini
dibangun dengan tujuan menyatukan beberapa tempat, yang biasanya
digunakan untuk bernegosiasi serta menghakimi orang-orang yang
melakukan kejahatan. Sampai sekarang, Pura Meru tak hanya
menjadi tempat peribadatan umat Hindu saja, namun juga menjadi
tujuan wisata yang paling diminati.
Pura Meru, Pura Terbesar di Pulau Lombok
Seperti pura-pura pada umumnya, Pura Meru terbagi dalam tiga
bagian. Bagian pura yang paling suci adalah Utama Mandala. Pura
ini merupakan tempat bagi umat Hindu untuk beribadah. Didalamnya
terdapat 33 Sanggah yang berwarna putih. Sanggah-sanggah
tersebut merupakan simbol dari 33 desa yang ikut membantu Anak
Agung Made Karangasem dalam mendirikan Pura Meru. Atapnya
berbentuk meru yang bertingkat yang menjulang ke langit. Jika
Anda memperhatikan dengan seksama, salah satu meru memiliki 11
tingkat. Sedangkan dua lainnya memiliki 9 tingkat. Meru tersebut
melambangkan Dewa-dewa yang ada dalam ajaran Hindu. Yaitu Brahma
(Dewa pencipta), Wisnu (Dewa pemelihara), Siwa (Dewa
penghancur).
Anda juga akan menemui Sekepat (semacam gazebo dengan empat
tiang) yang biasanya digunakan oleh Ida Pedande dalam memimpin
upacara. Serta Sake Ulu (gazebo dengan delapan tiang) yang biasa
digunakan sebagai tempat sesajen dan banten dalam setiap ritual.
Di bagian tengah Anda bisa menemui Madya Mandala, dengan gazebo
dua tingkat yang biasanya dipakai untuk bernegosiasi. Tepat di
depan pura ini, Anda bisa menemui Nista Mandala. Yaitu sebuah
halaman kosong. Tempat ini biasa digunakan untuk menggelar
berbagai kesenian dalam upacara-upacara tertentu.
7. Pura Mayura
Pura Mayura
dibangun oleh Raja A.A. Made Karangasem sekitar tahun 1744,
ketika kerajaan Bali masih berkuasa di Pulau Lombok. Pada
mulanya area taman ini bernama Taman Kelepug. Nama tersebut
diambil dari suara “klepug… klepug… ”, yaitu suara aliran air
dari mata air yang jatuh ke kolam. Nama tersebut kemudian
diganti ketika taman direnovasi oleh A.A. Ngurah Karangasem
sekitar tahun 1866.
Pura Taman Mayura Mataram LombokNama Mayura diambil dari bahasa
Sansekerta yang berarti “burung merak”. Pada waktu itu, masih
terdapat banyak ular yang berkeliaran sehingga sangat meresahkan
masyarakat yang hendak berdoa di pura. Beberapa penasehat
kemudian menyarankan agar beternak burung merak, dan
memeliharanya di sekitar taman dan pura. Keberadaan burung merak
cukup membantu dalam mengusir ular-ular tersebut. Sehingga
masyarakat dapat berdoa dengan tenang. Sejak saat itu, nama
“Mayura” mulai dipakai dan dikenal.
Ketika menginjak Taman Mayura, Anda akan merasakan kombinasi
suasana yang unik. Antara suasana alam yang asri, suasana
religius, dan sekaligus bersejarah. Wilayah taman ini terdiri
dari dua bagian, yaitu area taman dan area pura.
Di area taman, Anda akan mendapati taman yang tertata rapi.
Disini Anda akan merasakan kedamaian yang alami. Di sekeliling
taman dipagari oleh pohon-pohon Manggis, dengan rumput hijaunya
yang subur terawat. Di taman ini Anda juga akan menemui sebuah
kolam yang ditengahnya berdiri sebuah bangunan. Bangunan
tersebut bernama “Rat Kerte”, sering disebut sebagai “Gili”
(dalam bahasa Sasak berarti “pulau kecil”). Rat Kerte atau Gili
tersebut dulunya sering dipakai sebagai tempat untuk berkumpul,
melakukan pertemuan atau rapat, serta untuk menerima tamu
kerajaan.
Menurut penjaga pura atau pamangku, roh dari area Mayura ini
sebenarnya terletak di komplek pura yang berada di hulu kolam.
Namun komplek tersebut biasanya luput dari mata para pengunjung.
Karena perhatian para pengunjung tertarik pada luasnya area
taman yang indah.
Menginjak ke komplek pura, Anda bisa menemui empat pura utama.
Seperti Pura Gunung Rinjani, Pura Ngelurah, Pura Padmasana, dan
Pura Gedong. Pura Gedong sering digunakan untuk peribadatan umat
Hindu, bahkan dari berbagai penjuru dunia. Karena hal tersebut,
Pura Gedong juga memiliki nama lain, yaitu Pura Jagad Rana. Di
area pura ini, suasana religius sangat terasa.
Pura Mayura LombokKomplek pura ini tidak hanya dikunjungi oleh
umat Hindu saja. Siapapun boleh masuk ke area pura untuk
melihat-lihat serta mengetahui sejarahnya. Hanya pada
waktu-waktu tertentu saja, area pura ditutup untuk umum. Seperti
pada perayaan Galungan, perayaan Kuningan, serta hari raya umat
Hindu lainnya. Jika Anda ingin mengetahui lebih banyak tentang
kompleks pura serta Taman Mayura ini, Anda bisa menanyakannya
pada pemangku di Bale Pawedan.
-o0o-
|
|